“Kenyataan itu sungguh ironis karena Indonesia sebenarnya terkenal karena kekayaan plasma nutfa unggas di dunia. Unggas lokal ternyata belum menjadi tuan rumah di negerinya sendiri,” kata Ade, hari ini.
Untuk mencapai proporsi konstribusi 30% unggas lokal terhadap populasi unggas nasional, lanjut dia, perlu mengembangkan potensi peternak di pedesaan. Kondisi saat ini, kata dia, dari 56 juta rumah tangga petani, 21,5 juta diantaranya melakukan kegiatan ternak unggas lokal. Namun, kelemahannya, mereka masih beternak unggas lokal secara tradisional, belum beternak secara intensif.
Dengan beternak secara tradisional, maka untuk masa penen dengan bobot ayam mencapai 1 kg dibutuhkan waktu 6-8 bulan. Sedangkan dengan cara intensif hanya membutuhkan waktu selama 70-75 hari bisa memanen ayam dengan bobot 1 kg.
“Polanya hampir sama dengan beternak ayam ras. Namun untuk budi daya unggas lokal, kami berkomitmen untuk menggunakan bahan-bahan pakan organic. Karena itulah, unggas lokal di dunia terkenal juga dengan sebutan ayam organic karena dagingnya sehat.”
Kelemahan lain pengembangan unggas lokal, belum adanya orientasi peternak untuk bekonsentrasi untuk memproduksi bibit ayam. Mereka berorientasi pada usaha ternak unggas lokal untuk pedaging. Karena itulah, lanjut dia, nantinya dalam setiap provinsi diatur agar ada satu-dua kelompok peternak memproduksi bibit unggas lokal.