Features-Content


Connect With Us


Texts

Susu Kambing Ettawa
Kini telah hadir di Surabaya, Sidoarjo & gresik Susu Kambing Ettawa. Bagi Bapak / Ibu yang memerlukan susu kambing untuk pengobatan maupun pencegahan perbagai penyakit. Qibas susu Kambing siap mengirim ketempat Bapak / Ibu ...

Instructions

Ternak Qurban Harga Rp.30.000/kg
Bagi Bapak / Ibu yang memerlukan kambing untuk ibadah qurban yang berkualitas dan sehat dapat menghubungi Qibas Agro. Qibas Agro siap menerima Bapak / Ibu yang berkunjung ...

Recent Posts

My Service

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Recomended

Copyright © 2010 Qibas-online. All Rights Reserved. Designed by Anugera.web site :http://www.qibasagro.co.ccEmail : qibasagro@yahoo.comSurabaya - Jawa Timur - Indonesia

Populer News

About Me

Qibas Aqiqah
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Zonanugera's.com

Menggadaikan wibawa demi daging impor?

Ganjil. Begitu fenomena yang terlihat dari kebijakan pemberhentian sementara impor daging dari Selandia Baru, yang hanya berumur 4 hari. Seperti analogi tempe: pagi kedelai, sore jadi tempe.

"Sudah saatnya Departemen Pertanian sedikit berwibawa. Membuat kebijakan itu harus dengan pertimbangan. Tidak asal terbit dan cabut semaunya sendiri," kata satu pengusaha peternakan nasional kepada Bisnis dengan nada gemas.

Memang, satu pekan terakhir, Deptan, khususnya Ditjen Peternakan menjadi sorotan publik gara-gara menerbitkan pemberhentian sementara pemasukan karkas, daging dan jeroan dari Selandia Baru.

Kebijakan berupa surat edaran itu keluar 7 Juli 2008 yang langsung menggemparkan dunia peternakan di Tanah Air karena sejak 30 tahun Selandia Baru memasok daging ke Indonesia, selama itu tidak pernah ada persoalan.

Kini, isu kehalalan dijadikan kambing hitam. Meskipun tanpa audit, Deptan menuding perlu melindungi konsumen dalam negeri karena kehalalan daging Selandia Baru yang diragukan sehingga importasi dari negara itu pun langsung disetop.

Hal itu yang mendasari penerbitan SE Dirjen Peternakan No.07026/OT.140/F/07/2008 tentang Pemberhentian sementara pemasukan karkas, daging, dan jeroan dari negara Selandia Baru ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Kemudian, Deptan pun menghentikan praktik dagang dari negara lain hanya dengan surat edaran. Padahal, hubungan antarnegara mestinya menjadi tanggung jawab menteri selaku pejabat paling berwenang di departemen teknis terkait.

Sayangnya, sejak diterbitkan hingga dicabut hanya dalam waktu 4 hari, Menteri Pertanian Anton Apriyantono tidak sedikit pun berkomentar. Bisnis yang sempat mengikuti kunjungan kerja Mentan ke Subang dua hari sejak penerbitan SE tersebut pun tidak mendapatkan tanggapan yang memuaskan."Tanya Pak Dirjen [Tjeppy D. Sujana, Dirjen Peternakan]," katanya.

Di luar persoalan substansial mengapa daging asal negara itu dilarang, pemberhentian pemasukan yang hanya diputuskan dalam bentuk SE sempat membuat dahi sejumlah pihak berkenyit.

Menurut Kepala Biro Hukum Deptan Soeprahtomo, penerbitan itu tidak menyalahi prosedur meskipun surat pelarangan sementara yang dianggap mendiskreditkan satu negara itu tidak melalui mekanisme kontrol bagian hukum departemen terkait.

Dirjen sudah mendapatkan delegasi dari Menteri terkait. Sendi hukumnya adalah PP No.15 Tahun 77 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan Pengobatan penyakit hewan.

Ranah teknis

Dalam ketentuan itu, katanya, Mentan mendelegasikan tanggung jawabnya kepada Dirjen Peternakan karena hal ini dianggap sudah berada dalam ranah teknis yang harus diputuskan oleh pejabat yang berwenang di bidangnya.

Selain itu, tambahnya, penyakit hewan, termasuk di dalamnya zoonosis, higienitas sanitasi, dan kehalalan, merupakan hal dinamis yang membutuhkan penanganan cepat agar jika terjadi sesuatu dapat segera ditangani dan tidak membahayakan konsumen di dalam negeri.

"SE itu lebih cepat diterbitkan dan bisa cepat dicabut kalau terjadi kesalahan. Berbeda dengan peraturan lain yang mensyaratkan kajian dan pertimbangan-pertimbangan yang memakan waktu lama," ujarnya.

Mantan anggota Komisi Ahli Kesehatan Veteriner Deptan Mangku Sitepu menganggap kebijakan itu sebagai insiden konyol yang dilakukan Deptan.

Menurut dia, Deptan tidak memiliki wewenang untuk mengatur lalu lintas perdagangan antarnegara. Mestinya, dia berkeras, persoalan ini menjadi kewenangan Departemen Perdagangan selaku departemen teknis terkait.

Namun, merujuk pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 284/KptslOp/ 4/1983 tentang Penunjukan Pejabat Penerima Wewenang mengatur tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan, dan pengobatan penyakit hewan, Dirjen memperoleh jabatan strategis itu dengan alasan penyakit hewan.

"Itu hanya berlaku kalau Dirjennya adalah dokter hewan karena keputusan yang harus dia ambil terkait penyakit harus berdasarkan kewenangan medis veteriner. Hanya mereka yang punya veteriner medical authority saja yang bisa mengeluarkannya," ujarnya.

Mereka itu, tegas Mangku, hanya orang-orang yang telah lulus pendidikan kedokteran hewan dan telah disumpah. Sementara sejak 2004, direktorat teknis yang paling bertanggung jawab dalam hal ini tidak lagi dipimpin oleh seorang dokter hewan.

Sebatas birokrasi

Bagi Mangku, ini hal konyol yang terjadi di lingkup Deptan. Kondisi ini juga menimbulkan keprihatinan dari kalangan itu karena pemerintah tidak lagi memberikan perhatian khusus pada kesehatan veteriner. Dokumen dan kebijakan terkait kini sebatas birokrasi administratif yang tanpa dasar pertimbangan teknis veteriner.

Itu mengapa Ketua Komisi VI DPR Didik J. Rachbini menyoroti ketidakakuratan alasan substansial yang diambil Deptan dalam mengeluarkan kebijakan pemberhentian sementara pemasukan daging dari Selandia Baru.

Hal itu pula yang memicu tanda tanya lain setelah SE itu dicabut kembali oleh pejabat berwenang hanya dalam waktu 4 hari.

Memang, banyak pihak menganggap Deptan yang terlanjur 'menggadaikan' wibawanya-entah sengaja atau tidak-terkait dengan kebijakan kontroversial itu. Sayangnya, alasan melindungi keamanan pangan tidak cukup kuat menentramkan polemik yang terlanjur mengemuka.

Sementara dari kacamata ekonomi, Deptan nyaris mempertaruhkan hubungan dagang RI-Selandia Baru yang selama ini adem-ayem menyuplai 20% kebutuhan daging nasional.

Bukan main-main, dari kebutuhan impor daging 64.015 ton pada 2007, lebih dari 14.000 ton atau 21% berasal dari Selandia Baru. Nilainya, fantastis! Hitung saja, jika daging impor sekarang berkisar US$3,8-US$4 per kilogram. Ada apa di balik ini?
Sumber: bisnis-indonesia (2008)

  ©Template by Anugera.

IRT