Features-Content


Connect With Us


Texts

Susu Kambing Ettawa
Kini telah hadir di Surabaya, Sidoarjo & gresik Susu Kambing Ettawa. Bagi Bapak / Ibu yang memerlukan susu kambing untuk pengobatan maupun pencegahan perbagai penyakit. Qibas susu Kambing siap mengirim ketempat Bapak / Ibu ...

Instructions

Ternak Qurban Harga Rp.30.000/kg
Bagi Bapak / Ibu yang memerlukan kambing untuk ibadah qurban yang berkualitas dan sehat dapat menghubungi Qibas Agro. Qibas Agro siap menerima Bapak / Ibu yang berkunjung ...

Recent Posts

My Service

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

Diberdayakan oleh Blogger.

Recomended

Copyright © 2010 Qibas-online. All Rights Reserved. Designed by Anugera.web site :http://www.qibasagro.co.ccEmail : qibasagro@yahoo.comSurabaya - Jawa Timur - Indonesia

Populer News

About Me

Qibas Aqiqah
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Zonanugera's.com

Mengejar Swasembada, Mengorbankan Peternak

Entah apa yang melatarbelakangi pemikiran Departemen Pertanian akhir-akhir ini, bahwa pada komoditas daging sapi ada keinginan kuat untuk menurunkan harga di tingkat konsumen melalui upaya memasukkan daging sapi asal Brasil, dengan mengorbankan peternak di dalam negeri.
Upaya-upaya tersebut ditempuh dengan cara menyosialisasikannya kepada para pedagang dan beberapa pengimpor serta industri pengolahan daging. Padahal harga adalah milik pasar, yaitu dengan mempertemukan keinginan produsen dengan konsumen, baru harga bisa terbentuk. Artinya, pada kondisi pasar persaingan sempurna seperti saat ini, hampir mustahil pemerintah akan mampu mengendalikan harga tersebut melalui suatu intervensi.

Di sisi lain, Departemen Pertanian yang notabene sebagai departemen produksi, seharusnya lebih berpihak kepada peternak sebagai produsen, ketimbang kepada konsumen. Pasalnya, berbagai kebijakan yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini, sepertinya kebijakan tersebut lebih berpihak kepada industri dan konsumen. Misalnya, tentang bebasnya bea masuk kulit impor dan bahan baku indusrti susu serta upaya membuka peluang impor daging sapi dari Brazilia di mana negara tersebut masih belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) Kita semua tahu bahwa tahun 2009 negeri ini akan melaksanakan pesta demokrasi.

Implikasinya, hampir semua program pemerintah maupun kampanye yang dilakukan oleh partai diarahkan ke perdesaan. komoditas andalannya adalah peternakan, khususnya sapi perah, sapi potong, kambing maupun domba. Disadari, karena komoditas peternakan merupakan komoditas strategis bagi masyarakat perdesaan guna membangun perekonomian di wilayahnya.

Peternakan sebagai livestock (aset hidup) bagi masyarakat di perdesaan merupakan sumber daya yang perlu dilestarikan. Bukannya dijadikan komoditas politik maupun komoditas sebagai bahan baku pangan semata. Dampak yang akan terjadi jika saja pemerintah hanya memandang ternak sebagai komoditas pangan dan partai politik memanfaatkannya sebagai komoditas politik. Subsektor peternakan tidak akan memiliki masa depan yang cerah, karena akan terganggunya sistem produksi di perdesaan.

Misalnya, daging dipandang sebagai komoditas pangan semata, maka kebijakan importasi daging akan dibuka selebarnya tanpa lagi melihat ternak sebagai sumber daya. Buktinya dalam beberapa bulan terakhir ini, Departemen Pertanian sepertinya bersikeras mencari terobosan terhadap kondisi memenuhi kebutuhan akan daging sapi di dalam negeri.

Alasan yang dilansir berbagai media menyatakan bahwa Australia telah memonopoli pasar daging sapi di Indonesia, benarkah? Kemudian isu mahalnya harga daging sapi di pasar yang sangat tendensius, sepertinya sangat merugikan konsumen. Kesemuanya telah melatarbelakangi munculnya alternatif untuk melakukan impor daging sapi dari Brasil. Indonesia sebagai negara yang bebas PMK, menganut sistem country base. Artinya jika suatu negara bebas PMK, tidak mungkin untuk melakukan impor daging sapi dari negara yang belum terbebas PMK.

Hal ini sejalan dengan kebijakan Menteri Pertanian yaitu Permentan No. 27/Permentan/OT.140/3/2007 pasal 8 ayat 1a. Bahwa tidak diizinkan untuk mengimpor daging, karkas maupun jeroan dari negara yang tertular PMK. Sesuai pula dengan Staatblads 1912 No. 342 pasal 3. Melarang mengimpor hewan hidup maupun produk hewan yang tidak dimasak dari Negara yang tertular PMK yang terdapat di dalam UU No. 6/1967 tentang pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Mangku Sitepu, 2008)

Walaupun demikian, keinginan kuat Departemen Pertanian untuk melakukan impor daging sapi kian sulit untuk ditahan. Hal ini ditunjukkan oleh opini Menteri Pertanian yang dilansir di beberapa media massa, bahwa Menteri akan bertanggung jawab dan akan melakukan notifikasi kepada OIE dan FAO terhadap rencana importasi ini. Tentu kebijakan tersebut akan mengundang risiko, selain melanggar Permentan dan UU 6/1967 juga siapa yang akan menjamin kondisi ini akan menciptakan iklim kondusif bagi pembangunan peternakan di dalam negeri? Semua orang mengetahui mengenai dampak negatif yang akan terjadi apabila negeri ini melakukan impor daging sapi dari negara yang belum terbebas PMK.

Misalnya, pada kasus outbreak PMK di Inggris sebagai negara yang berteknologi canggih pada tahun 2001, ternyata hanya dalam waktu dua minggu, PMK telah mampu memorakporandakan perekonomian Inggris Raya. Pemerintah Inggris telah mengeluarkan biaya tidak kurang dari 9,2 miliar dolar AS untuk menanggulangi masalah tersebut (Tim Risk Analysis Deptan 2008). Biaya ini dikeluarkan untuk melakukan stamping out bagi ternak sapi, domba/kambing, babi dan hewan ruminansia berkuku genap lainnya. Selain itu, kasus ini telah memberikan dampak pula terhadap penurunan pendapatan dari bisnis pariwisata, pertanian (produksi dan ekspor), tenaga kerja, perhotelan serta perekonomian negara yaitu dengan menurunnya GDP (gross domestic product). Di Indonesia kerugian ekonomi nasional selama seratus tahun (1887-1983) dalam menangani PMK, diperkirakan telah menghabiskan biaya sekitar 1,66 miliar dolar AS (studi ekonomi Ditjen peternakan, 2002).

Sepertinya kebijakan pemerintah berswasembada daging sapi di tahun 2010, identik dengan upaya keras melakukan importasi daging untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Ataukah dengan penurunan harga daging diharapkan akan tercipta peningkatan daya beli masyarakat(?), tanpa melihat dampaknya bagi kelangsungan pembangunan peternakan nasional jangka panjang. Jika hal ini tidak mampu dikendalikan, niscaya pembangunan peternakan yang berdampak terhadap pembangunan pertanian secara luas akan terkendala secara serius di kemudian hari.

Sebenarnya yang harus dilakukan pemerintah adalah biarkan harga daging sapi terbentuk sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi. Pengendalian harga dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan populasi sapi potong di dalam negeri dengan inovasi teknologi yang sama dengan negara pengekspor sapi. Misalnya, membolehkan penggunaan hormon pertumbuhan yang selama ini dilarang, inovasi teknologi mikroba pakan, insentif kredit pola tunda potong, peningkatan kualitas/kuantitas program IB/ET, kemudahan mengakses kredit dan insentif bunga bagi peternak perbibitan rakyat.

Selain itu, upaya meningkatkan harga kulit melalui perluasan pasar produk hasil kulit bukannya membebaskan bea masuk kulit mentah impor. Karena harga kulit sangat berpengaruh kuat terhadap harga daging sapi di dalam negeri, jika harga kulit murah otomatis harga daging akan mahal. Dengan cara seperti ini sistem produksi peternakan di dalam negeri tidak akan terganggu, bahkan menjadi kondusif.

Sumber: pikiran-rakyat (2009)

  ©Template by Anugera.

IRT