Dedy menjelaskan hingga 2009, sebanyak sembilan dari 11 WPP di Indonesia tercatat dalam kondisi mengalami eksploitasi penuh dan berlebih. Dari 44 kategori ikan yang dapat ditangkap di 11 WPP tersebut. Dari total itu hanya tersisa delapan jenis yang bisa ditangkap. Indikator penurunan sumber daya ikan di antaranya areal penangkapan ikan semakin jauh dari lokasi nelayan, jumlah ikan tangkapan berkurang drastis, dan ukuran ikan semakin kecil.
Dirjen menyatakan penangkapan ikan dengan pukat dan purseine berdampak pada pengurasan sumber daya ikan, karena kapal dengan alat tangkap pukat ikan mampu mengeruk ikan dengan kapasitas 30 ton setiap kegiatan. "SK Dirjen ini akan ditinjau setiap tahun," kata Dedy.
Menurut dia, penghentian izin usaha ini akan dicabut jika indikator sumber daya ikan di WPP sudah kembali pulih. Indikator ini dilihat dari pulihnya volume ikan yang berada di perairan tersebut dan nelayan tidak perlu melaut hingga ke tengah laut untuk mendapatkan ikan. Dia menyatakan terdapat lima jenis alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang izinnya dihentikan sementara.
Alat tersebut adalah pertama jenis purse seine pelagis besar untuk ukuran kepal lebih dari 200 grosston. Pelarangan ini berlaku di semua daerah penangkapan. Kedua, alat jenis pukat ikan untuk semua ukuran kapal di daerah penangkapan Zona Ekonomi Eksklusif di Laut Arafura. Ketiga, alat jenis pukat udang untuk semua jenis ukuran kapal, dan berlaku di semua daerah penangkapan. Keempat, alat jenis rumpon untuk semua jenis ukuran kapal yang berlaku di seluruh Zona Ekonomi Eksklusif.