Cepatnya migrasi virus yang mematikan itu membuat hampir semua negara tidak bisa terhindar dari H1N1.
Dengan kata lain, kehadiran virus baru dalam dunia kesehatan ini menjadi momok dunia yang menakutkan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sejak pertama kali virus H1N1 ditemukan di Meksiko pada April hingga menjelang akhir 2009, sedikitnya 11.500 penduduk dunia tewas akibat penyakit flu babi.
Kasus kematian paling banyak akibat flu babi terjadi di kawasan Amerika yakni mencapai 6.670 orang.
Dewasa ini, penyebaran virus flu A H1N1 paling aktif di Eropa tengah dan Eropa Timur. Puncak pandemi flu H1N1 di Asia termasuk Iran, Irak dan Afghanistan, sedangkan penyebaran virus flu H1N1 di sebagian daerah Jepang dan Tiongkok menunjukkan kecenderungan menurun.
Sejauh ini belum ditemukan obat jitu untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Terapi dengan bantuan strain protein sebagai penangkal, sebagian penderita berhasil pulih dari penyakit flu babi tanpa memerlukan perawatan medis.
Penelitian Institut Medis Howard Hughes (HHMI) memang telah menemukan beberapa strain protein manusia untuk membantu mencegah virus flu babi.
Protein tadi juga dapat mencegah pembentukan beberapa virus lain termasuk virus flu burung dan virus demam berdarah dengue.
Peneliti menemukan strain protein memiliki antiviral yang efektif untuk menahan proses penggandaan virus.
Penggunaan protein ini mendorong kerja obat-obatan antiviral, termasuk obat-obatan prophylactic yang digunakan memperlambat transmisi influenza.
Agar bertahan hidup virus influenza dan virus lainnya harus mengambil protein. Saat itulah virus antireplikasi bekerja dan menghancurkan virus.
Studi juga menemukan ada 120 jenis protein yang dibutuhkan virus H1N1 atau flu babi untuk bertahan hidup, di antara strain protein pemblok.
Belum berakhir
Meski telah ditemukan protein pencegah, bukan berarti pandemi H1N1 telah berakhir. Malah WHO memperingatkan akan lebih banyak orang yang sakit akibat H1N1 pada musim dingin ini, meskipun pandemik itu sudah mencapai puncaknya di Amerika Utara dan di beberapa negara Eropa.
Kondisi terburuk dari penyebaran H1N1 terjadi di AS, Kanada, Inggris dan beberapa negara lainnya di kawasan utara. Namun masih ada aktivitas flu yang meningkat di Mesir, India dan lokasi lainnya.
Laporan akhir tahun badan kesehatan dunia itu menyatakan pandemi H1N1 belum mencapai tahap akhir.
Para ahli kesehatan, pesan badan tersebut, harus mengawasi pandemik tersebut dalam 6 bulan-12 bulan ke depan karena virus H1N1 masih bisa bermutasi dan menjadi lebih berbahaya lagi.
WHO sebelumnya sudah memperingatkan bahwa virus H1N1 memiliki dampak merusak yang lebih kuat di negara-negara benua Afrika, sehingga perlu mempertimbangkan tingginya warga yang menderita kekurangan gizi, AIDS dan malaria.
Perusahaan pembuat obat dan beberapa negara sudah berjanji akan menyumbangkan hampir 190 juta dosis vaksin melalui WHO. Jumlah itu meningkat dari sebelumnya sejumlah 150 juta dosis 2 bulan lalu.
Bulan lalu, WHO memperingatkan kasus baru flu burung yang dilaporkan di Mesir, Indonesia, Thailand dan Vietnam, gabungan risiko flu burung dan pandemi H1N1 semakin meningkatkan kekhawatiran.
Para ilmuwan semakin khawatir gabungan antara flu burung yang masih sulit diatasi mampu menewaskan 60% dari mereka yang terinfeksi dan digabungkan dengan virus H1N1 yang mudah menyebar, tetapi memiliki daya bunuh yang rendah.
Meskipun banyak negara yang melakukan persiapan yang lebih baik untuk mengatasi penyebaran global dibanding beberapa tahun lalu, pandemi H1N1 masih menyisakan ruang dalam sistem kesehatan di banyak negara.
Lebih berbahaya
Virus H1N1 yang menyebabkan flu babi sejauh ini memang masih dianggap enteng oleh masyarakat karena daya bunuhnya masih rendah.
Baru-baru ini tim peneliti internasional mengungkapkan bahwa virus H1N1 ternyata lebih ganas dari yang diperkirakan.
Penelitian yang diketuai oleh virologis Yoshihiro Kawaoka menampilkan dengan detail gambar virus dan kualitas patogeniknya.
Berbeda dengan yang selama ini dikira, ternyata virus H1N1 mampu menginfeksi bagian dalam sel di paru-paru, yang akan mengakibatkan pneumonia dan pada beberapa kasus, kematian. Virus flu biasa hanya menginfeksi satu sel pada sistem pernapasan atas.
Kemampuan virus itu menginfeksi paru-paru sama menakutkannya dengan pandemi virus lain seperti yang terjadi pada 1918 yang membunuh 10 juta orang pada akhir Perang Dunia I.
Penelitian Kawaoka juga menunjukkan, orang yang lahir sebelum 1918 memiliki antibodi untuk melawan virus H1N1 yang baru.
Oleh karena itu, mungkin saja virus ini akan lebih berbahaya dari pandemi sekarang, mengingat kemampuan virus ini berevolusi menjadi bentuk baru.